Persoalan Bermazhab di kalangan umat Islam

Persoalan bermazhab sudah menjadi satu issue besar kini di kalangan umat Islam khususny di Malaysia. Bukan hanya di kalangan mereka yang mengikut secara i`tikad, dan bukannya ittiba`, bahkan juga di kalangan  mereka yang menjadi ikutan umat islam di negara kita.

mengenai keadaan negara kita di Malaysia ini adalah bermadzhabkan syafii, demikian guru guru kita dan guru guru mereka, sanad guru mereka jelas hingga Imam syafii, dan sanad mereka muttashil hingga Imam Bukhari, bahkan hingga Rasul S.A.W, bukan sebagaimana orang orang masa kini yang mengambil ilmu dari buku terjemahan lalu berfatwa untuk memilih madzhab semaunya,

Anda benar, bahwa kita mesti menyesuaikan dengan keadaan, bila kita di makkah misalnya, maka madzhab disana kebanyakan hanafi, dan di Madinah madzhab kebanyakannya adalah Maliki, selayaknya kita mengikuti madzhab setempat, agar tak menjadi fitnah dan dianggap lain sendiri, beda dengan sebagian muslimin masa kini yang gemar mencari yang aneh dan beda, tak mau ikut jamaah dan cenderung memisahkan diri agar dianggap lebih alim dari yang lain, hal ini adalah dari ketidak fahaman melihat situasi suatu tempat dan kondisi masyarakat.

Memang tak ada perintah wajib bermadzhab secara shariih, namun bermadzhab wajib  hukumnya, karena kaidah syariah adalah; 
 
Maa Yatimmul waajib illa bihi fahuwa wajib,

iaitu apa apa yang mesti ada sebagai perantara untuk mencapai hal yang wajib, menjadi wajib hukumnya.

Misalnya kita membeli air, apa hukumnya?, tentunya mubah saja, namun bila kita akan sholat fardhu tapi air tidak ada, dan yang ada hanyalah air yang harus di beli, dan kita mempunyai wang, maka apa hukumnya membeli air?, dari mubah berubah menjadi wajib tentunya. karena perlu untuk sholat yang wajib.

Demikian pula dalam syariah ini, tak wajib mengikuti madzhab, namun karena kita tak mengetahui lautan syariah seluruh madzhab, dan kita hidup 14 abad setelah wafatnya Rasul saw, maka kita tak mengenal hukum ibadah kecuali menyelusuri fatwa yang ada pada imam-imam muhaddits terdahulu, maka bermadzhab menjadi wajib, Kerana kita tak biasa beribadah dalam hal hal yang fardhu / wajib kecuali dengan mengikuti salah satu madzhab itu, maka bermadzhab menjadi wajib hukumnya.

"Sebagaimana suatu contoh kejadian ketika zeyd dan amir sedang berwudhu, lalu keduanya kepasar, dan masing masing membeli sesuatu di pasar dan keduanya menyentuh wanita, lalu keduanya akan sholat, maka zeyd berwudhu dan amir tidak berwudhu, ketika zeyd bertanya pada amir, mengapa kau tak berwudhu?, bukankah kau bersentuhan dengan wanita?, maka amir berkata, aku bermadzhabkan maliki, maka zeyd berkata, maka wudhu mu itu tak sah dalam madzhab malik dan tak sah pula dalam madzhab syafii, karena madzhab maliki mengajarku wudhu harus menggosok anggota wudhu, tak cukup hanya mengusap, namun kau tadi berwudhudengan madzhab syafii dan lalu dalam masalah bersentuhan kau ingin mengambil madzhab maliki, maka bersuci mu kini tak sah secara maliki dan telah batal pula dalam madzhab syafii."

Demikian contoh kecil dari kebodohan orang yang mengatakan bermadzhab tidak wajib, lalu siapa yang akan bertanggung jawab atas wudhunya?, ia perlu tetap pada sanad yang di pegang bahwa ia berpegangan pada sunnah nabi saw dalam wudhunya, dan sanadnya berpandukan pada Imam Syafii atau pada Imam Malik?, atau pada lainnya?, atau ia tak berpegang pada salah satunya sebagaimana contoh diatas..

Dan berpindah pindah madzhab tentunya boleh boleh saja bila sesuai situasinya, ia pindah ke wilayah malikiyyun maka tak sepatutnya ia berkeras dengan madzhab syafii nya,

Demikian pula bila ia berada di Malaysia atau di mana mana, wilayah madzhab syafi’iyyun, tidak perlu berkeras untuk mengikut mazhab maliki atau hambali. 



sekian...

Wallahu a'lam